Sabtu, 31 Januari 2009

Mari Membicarakan Isi Buku

Salam hormat bagi siapa pun yang tergila-gila, atau sekadar suka membaca buku.

Saya Dede Sulaeman, Pengelola Blog ini, mengundang pembaca untuk mengirimkan resensi beserta gambarnya ke email: salamytwain@gmail.com. Saya akan mempublikasikan resensi siapa pun dan buku apa pun di sini. Kita akan membicarakan (berdialog via media ini) mengenai buku-buku yang menarik. Teman-teman pun bisa mengirimkan komentar apa pun tentang buku.

Saya mohon maaf, karena resensi yang dipublikasikan di sini tidak disediakan honor. Media ini hanya sekadar alat untuk menyebarkan ilmu pengetahuan melalui gerakan gemar membaca buku dan mengkiat makna (meminjam istilah Hernowo) ilmu dalam buku. Kedua, saya mohon maaf, karena blog ini masih sangat sederhana, oleh sebab keterbatasan saya membuatnya.

Demikian. Terima kasih.

Hormat saya,
Dede Sulaeman

Jumat, 30 Januari 2009

Melebur Syariah dalam Negara Sekular


Judul Buku: Islam dan Negara Sekular; Menegosiasikan Masa Depan Syariah
Penulis: Abdullahi Ahmed An-Na’im
Penerbit: Mizan, 2007
Tebal: 506 halaman

ISLAM sebagai agama yang mengusung universalitas kasih sayang dan rahmat bagi alam semesta, tentu saja, hadir untuk tidak menjadi hal sebaliknya, karenanya, memahami Islam secara mendalam – tidak memahaminya secara tekstual, melainkan kontekstual. Tidak memahami hanya pada kulitnya, tetapi sampai membongkar intinya – menjadi fardhu, terutama umat Muslim yang dianjurkan berijtihad dalam mencari kemaslahatan hidupnya.

Tak bisa dielakkan, begitu banyak tokoh agama kita masuk dalam kategori memahami Islam pada batas kulit saja. Sehingga, tak heran jika agama begitu kaku dan cenderung menyiksa, karena dipaksakan. Dampak dari pemahaman dangkal ini sering kali mengekang pemeluk agama itu sendiri. Bahkan, lucunya, sang agamawan pun terkena dampak yang diciptakannya sendiri.

Sekadar contoh, beberapa ulama yang berjuang dengan pandangan lebih maju, terpaksa harus menyingkir dari tanah kelahirannya, dengan tuduhan penyimpangan terhadap agama. Bahkan, beberapa ulama harus mati di tiang gantungan, hanya gara-gara berbeda pandangan dalam hal menginterpretasikan sumber agama. Kondisi ini berlangsung di berbagai negara dan dalam bentangan waktu yang cukup lama. Sungguh sangat memprihatinkan.

Namun, di balik itu, ternyata masih ada pelopor pembaharu yang tetap konsisten menyerukan kebenaran Islam dengan warna yang lebih populis dan manusiawi. Ya, di tengah-tengah kondisi seperti itu, ulama-ulama semisal Fazlurrahman, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid, dan Abdullahi Ahmed An-Na’im. Yang terakhir, misalnya, tetap konsisten dengan ide pembaharuan Islam yang dulu telah diproklamasikan oleh gurunya, Mahmud Muhammad Thaha. Dan, kini, ia mempublikasikan karya mutakhirnya mengenai Islam, syariah, dan konsep negara modern. Karya ini adalah hasil proyek penelitian seriusnya di beberapa negara, Turki, Mesir, Sudan, Uzbekistan, India, Indonesia, dan Nigeria. Guru besar hukum Emory University, Atlanta, Amerika Serikat ini sedang menyuguhkan formulasi baru syariah sebagai sistem agama dan negara dalam konteks sekarang.

Bagi sarjana yang memperoleh gelar Ph.D-nya di Universitas Edinburgh ini, syariah memiliki masa depan cerah dalam kehidupan publik masyarakat Islam. Sebab, menurutnya, syariah tumbuh dan bersumber pada wahyu Tuhan sebagai pencipta manusia dan agama. Tetapi, bukan berarti ia akan diterapkan secara formal dalam institusi negara. Melainkan diperas sari patinya, sehingga dihasilkan prinsip-prinsip universal Islam untuk kemaslahatan manusia di muka bumi. Sebab, jika secara konyol, syariah diterapkan secara formal pada lembaga negara, dia akan menjadi tangan besi yang memaksa untuk ditaati. Padahal, syariah yang dogmatis itu, bersifat sakral dan tidak bisa diganggugugat.

Karnanya, An-Na’im dalam karya terbarunya, Islam dan Negara Sekular; Menegosiasikan Masa Depan Syariah, menolak mentah-mentah penerapan syariah yang dipaksakan oleh Negara. Sebab, tujuan utama ditulisnya buku ini adalah untuk meyakinkan bahwa pemisahan institusi negara dan Islam dengan tetap menjaga keterhubungan antara Islam dan politik merupakan hal yang perlu dan penting.

Dalam bayangannya, jika syariah diterapkan secara formal dalam Negara, ia akan berubah bentuk menjadi buaya pemangsa yang mematikan. Siapa bertentangan dengannya, bersiaplah menjadi korban keganasannya, untuk tidak menyebut kejam. Bahkan, gurunya menjadi korban kekejaman syariah bentuk ini. Karenanya, ide substantif ini menjadi begitu penting untuk didiskusikan dan dicarikan formulasi penerapannya.

Memosisikan Syariah Sesuai Tempatnya
An-Na’im percaya bahwa syariah akan terus memainkan peran penting dalam membentuk dan mengembangkan norma-norma dan nilai-nilai etika yang dapat direfleksikan dalam perundang-undangan dan kebijakan publik melalui proses politik yang demokratis. Tetapi, ia juga berpendapat bahwa prinsip-prinsip syariah, tidak dapat diberlakukan dan diterapkan secara formal oleh negara secara hukum dan kebijakan publik hanya karena alasan bahwa prinsip-prinsip dan aturan-aturan itu merupakan bagian dari syariah. Jika pemberlakuan syariah itu diusahakan, hal itu merupakan kehendak politik negara, bukan hukum Islam.

Gagasan yang ditawarkan An-Na’im, terkait dengan peranan syariah di ruang publik, bukanlah persoalan doktrin serta praktik keagamaan di ruang privat. Sebab, persoalan tersebut, sudah selesai dengan sendirinya. Di sinilah pentingnya ide-ide An-Na’im terkait dengan penempatan anak panah (syariah) pada posisi medan tuju (negara) yang tepat. Dengan harapan syariah bisa hidup dan bermanfaat dengan tidak mengembalikan negara pada bentuknya yang masa lampau. Berawal dari premis bahwa syariah akan memiliki peran penting dalam kehidupan publik di masyarakat Muslim, An-Na’im mencoba untuk mengklasifikasi dan membantu mewujudkan peran masa depan syariah tersebut dengan menggunakan perspektif teoritik tertentu.

Sedini mungkin An-Nai’im telah menghubungkan analisisnya dengan kebijakan publik dan praktik-praktik yang sedang hangat. Maka, dia selalu mengaitkan konsep teoritisnya dengan realitas sosial-politik hari ini. Tak heran jika teorinya sangat relevan dengan kondisi zaman di mana umat Islam sedang berada dalam konteks dunia yang menglobal. Gagasannya tentang syariah yang harus diposisikan sebagai bukan nash yang qot’i, tetapi sebagaimana fikih, ia diperoleh dari hasil interpretasi terhadap Al-Quran dan Sunnah. Maka, dengan sendirinya syariah bakal menjadi solusi bagi pemecahan masalah umat manusia saat ini.

Adanya klaim elit penguasa yang kadang melegitimasi kekuasaan negara atas nama syariah tidak lantas berarti bahwa klaim itu benar atau mungkin terus dilaksanakan. Mengingat prinsip-prinsip syariah ditinjau dari watak dan fungsinya memang menolak kemungkinan penerapan syariah oleh negara, klaim untuk melakukan hal itu bertentangan dengan logika, sekalipun berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi pertentangan itu. Jika, belum percaya, sejarah menjawabnya, yang membuat kita akan percaya.

Sebagaimana dalam karyanya terdahulu, Toward an Islamic Reformation Civil Liberties, Human Rights, and International Law – yang diindonesiakan menjadi, Dekonstuksi Syariah – An-Na’im membantah pengidentikkan antara syariah dan Islam. Baginya prinsip-prinsip syariah selalu merupakan interpretasi manusia atas Al-Quran dan Sunnah Nabi. Katanya lagi, kita harus membedakan antara Islam sebagai agama dan syariah sebagai formulasi hukum Islam yang bersifat historis. Menurutnya, syariah bukanlah keseluruhan Islam itu sendiri, melainkan interpretasi terhadap nash. Dalam hal ini, prinsip syariah merupakan sesuatu yang dapat dipahami dan coba diamalkan oleh umat manusia dalam konteks sejarah tertentu. Karenanya Islam tidak hanya syariah, meskipun mengetahui dan mengamalkan syariah adalah cara untuk mewujudkan Islam sebagai prinsip tauhid dalam kehidupan sehari-hari umat Islam.

An-Na’im mendukung sekularisme, pluralisme, konstitualisme, dan hak-hak asasi manusia dalam perspektif Islam. Sebab ia percaya, pendekatan terhadap prinsip-prinsip dan pranata-pranata ini sangat diperlukan untuk melindungi kebebasan setiap orang. Inilah pendekatan-pendekatan kontemporer yang dijadikan bagian dari rujukan mengimplementasikan syariah dalam ruang publik dengan realitas nation-state sekarang ini.

Menjadi jelas bahwa langkah yang mesti ditempuh adalah memperlakukan syariah sebagai sesuatu yang masih profan dan bisa diinterpretasi ulang, karena ia bukanlah sumber hukum, melainkan buah dari ijtihad terhadap wahyu.

Negara Modern dan Peluang Masuknya Syariah
Semua umat Islam saat ini tinggal di sebuah teritori yang disebut sebagai negara-bangsa (the nation state). Berdasarkan model Eropa telah menjadi model yang dimapankan melalui penjajahan, bahkan di negara yang secara formal tidak pernah dijajah. Menurut sarjana Barat, model negara seperti ini ditandai dengan adanya administrasi dan tata hukum yang terpusat dan terorganisasi secara birokratis dan dijalankan oleh sekelompok administratur, serta mempunyai otoritas atas apa yang terjadi di wilayah kekuasaannya, basis teritorial dan monopoli untuk menggunakan kekuasaannya. Dalam hal ini negara berdaulat atas kekuasaannya.

Karena itu, negara modern dipahami sebagai representasi institusional sebuah kekuasaan politik, yang tidak lagi diperoleh dari otoritas personal seorang penguasa atau dari mereka yang mendapatkan otoritas dari penguasa. Kekuasaan politik negara yang terpusat dan terlembaga, tercermin dalam struktur birokrasi dan organisasinya. Negara, bahkan, bisa memformalisasikan penggunaan kekuasaan itu melalui standar dan prosedur hukum serta mempromosikan integrasi kekuasaan politik melalui legitimasi demokrasi dan peningkatan pentingnya konsep kewarganegaraan sebagai prinsip yang mengatur hubungan negara dan masyarakat.

Oleh sebab itu, prinsip-prinsip syariah harus diformulasikan supaya bisa masuk ke dalam kebijakan-kebijakan negara. Bukan malah menerapkannya secara formal dalam negara, sebagaimana dahulu. Sistem dzimmah yang dulu diterapkan dalam kekuasaan kaum muslim, itu tidak mungkin bisa menerima non-Muslim menjadi warga negara yang setara. Karena, ide dasar dari sistem ini adalah bahwa setelah penaklukan dan penyatuan wilayah-wilayah baru melalui jihad, Ahli Kitab, terutama Kristen dan Yahudi, harus diperbolehkan tinggal di sana sebagai komunitas yang dilindung karena mereka tunduk kepada kedaulatan Islam. Tetapi, mereka tidak bisa menikmati persamaan dengan umat Islam.

Maka, siapa yang dianggap kafir oleh standar-standar syariah, sama sekali tidak diizinkan hidup di dalam wilayah negara tersebut kecuali di bawah pengawasan yang menjamin keamanannya yang sifatnya sementara. Bagi An-Na’im, gagasan-gagasan demikian sekarang tidak bisa dipertahankan secara moral dan politis, bahkan pendukung-pendukung negara Islam yang paling bersemangat pun tidak mendiskusikan penerapan gagasan itu dalam realitas-realitas negara-negara teritorial yang pluralistik, yang secara total terintegrasi ke dalam sistem ekonomi, politik, dan hukum internasional.

Negara teritorial modern seharusnya tidak mencoba menjalankan syariah sebagai hukum positif dan kebijakan publik. Dan, tak mengklaim penafsiran doktrin-doktrin dan prinsip-prinsipnya bagi warga negara Muslim. Prinsip-prinsip syariah dapat dan seharusnya menjadi sumber kebijakan dan perundang-undangan publik serta tunduk pada hak-hak konstitusional dan hak-hak asasi manusia bagi seluruh warga negara, perempuan dan laki-laki, Muslim dan non Muslim tanpa diskriminasi.

Mediasi ini, karenanya, menuntut pembaharuan aspek-aspek syariah tertentu. Dengan demikian, prinsip-prinsip syariah tidak bisa menjadi hak istimewa atau dipaksakan begitu saja, tidak juga ditolak sebagai sumber hukum dan kebijakan negara.

An-Na’im melihat pandangan ini tidak hanya sebagai perkara prinsipil, tetapi pandangan ini juga sangat membantu meyakinkan umat Islam bahwa sekularisme bukan berarti membuang Islam dari kehidupan publik, tetapi memerankan Islam yang sesungguhnya dalam ruang itu.

Menurut An-Na’im, sebagai ajaran suci, syariah haruslah dilaksanakan oleh setiap Muslim secara suka rela, sebab penerapannya oleh negara secara formal dan paksa, bisa menyebabkan prinsip-prinsip syariah kehilangan otoritas dan nilai kesuciannya. Oleh sebab itu, negara secara kelembagaan haruslah dipisahkan dari Islam agar syariah bisa berperan positif dan mencerahkan bagi kehidupan umat Islam.

Karena itu, negara harus bersikap netral terhadap doktrin atau prinsip-prinsip agama mana pun. Netralitas yang dimaksud tidak berarti negara secara sengaja memojokkan peran agama ke bilik-bilik sempit kehidupan privat. Namun, semata-mata demi menjamin kebebasan setiap individu untuk mendukung, berkeberatan, atau memodifikasi setiap penafsiran manusia atas doktrin atau prinsip-prinsip agama. Maka, ruang dialog yang sehat akan menjadi arena yang membuahkan sesuatu yang ideal.

An-Na’im dalam karya penting ini, merumuskan prinsip pemisahan kelembagaan antara Islam dan negara, namun enggan tetap mempertahankan hubungan antara Islam dan negara, dan tetap mempertahankan hubungan antara Islam dengan politik, melalui apa yang yang disebut sebagai public reason. Prinsip ini memungkinkan penerapan prinsip-prinsip Islam dalam kebijakan publik secara legitimate, namun tetap tunduk pada prinsip-prinsip ketatanegaraan yang berlaku, serta menjamin kesetaraan hak setiap warga negara tanpa membedakan agama, ras, suku, gender, dan ideologi politik.

Di sinilah peluang masuknya syariah dalam menyampaikan pesan-pesan luhur Tuhan melalui lembaga negara yang sudah tumbuh, berkembang, dan sudah mapan itu. Tinggal bagaimana melakukan pengemasannya yang baik, maka agama, Islam, bisa benar-benar menebarkan rahmat bagi semesta.

Publik Reason sebagai Mediator Pemecahan Konflik Kebijakan
Dalam sistem negara modern, aktor non-negara membutuhkan ruang yang aman untuk bersaing secara bebas dan sehat untuk memengaruhi proses pengambilan kebijakan melalui peran negara. Lalu, ruang yang tersedia tersebut harus dapat menjamin terbukanya kesempatan bagi sebanyak-banyaknya kelompok untuk berkompetisi. Semakin banyak dan beragam kelompok yang dapat bersaing secara bebas dan sehat untuk mengamankan kepentingan dan urusannya dalam sebuah kebijakan, semakin kecil pula kemungkinan mereka untuk mengontrol negara atau institusinya. Sebab, pesan dan keinginan mereka telah tersampaikan dengan baik.

Hal tersebut mengindikasikan apa yang diistilahkan An-Na’im sebagai public reason yang di dalamnya para aktor sosial dapat memengaruhi negara dengan tetap menjaga independesi dan otoritas negara sebagai lembaga formal. Konsep ini berisi beberapa elemen, misalnya, prosedur efektif untuk menjamin partisipasi bebas dan sehat, pedoman mengenai isi dan etika debat publik, bahkan perangkat pendidikan dan perangkat lain yang digunakan untuk meningkatkan legitimasi dan efektivitas persyaratan tersebut. Inilah prosedur logic yang harus diterapkan, mengingat pluralnya kepentingan orang sebagai anggota masyarakat, kini.

Menurut anggapan luas, Islam dan hukum Islam bersifat universal, sehingga analisis dan kesimpulan yang dikedepankan di sini pun harus sesuai dan dapat diterapkan di negara Muslim mana pun di dunia. Benar, bahwa penafsiran dan praktik semua agama, termasuk Islam, sangat dipengaruhi oleh kondisi sosiologis, ekonomi, dan politik masyarakat tertentu. Demikian juga dengan sistem hukum agama, seperti syariah. Tetapi dalam hubungannya dengan agama tertentu, atau sistem hukum tertentu, ada variasi dan kekhasan lokalnya masing-masing. Kekhasan lokal itu akan tetap lestari dengan perawatan public reason.

Pada detik ini, secara teoritis, An-Na’im sudah bekerja dan menghasilkan sesuatu yang luar biasa bagi perkembangan pemikiran Islam dan solusi kemaslahatan umat. Namun, saya masih melihat, pemikiran An-Na’im ini belum tuntas. Dalam hal ini syariah sebagaimana fikih yang harus diijtihadi, akan diambil spirit universalnya dan disesuaikan dengan konteks zaman kini, untuk mendapatkan kemaslahatan umat manusia. Hasilnya adalah sesuatu yang sangat ideal.

Tetapi, tentunya, kita masih akan mendapatkan gagasan-gagasan segar An-Na’im di kemudian hari. Solusi-solusi hukum, sosial, politik, dan agama, tentu akan tercipta melalui pergulatan tokoh ini, berdasarkan pergumulannya dengan sistem kehidupan dunia yang selalu tak statis. Hal ini meniscayakan adanya ijtihad baru dan baru lagi untuk memenuhi tuntutan umat Islam yang haus keadilan, kemaslahatan, dan keselamatan dunia dan akhirat.

Dede Sulaeman, Pengelola Blog Bahagia Bersama Buku

Memoar Perempuan Perkasa yang Teraniaya


Judul Buku: Tuhan, Jangan Tinggalkan Aku
Penulis: Pipiet Senja & Ennie Van Moorsel Arief
Penerbit: Zikrul Hakim
Terbit: Maret 2008
Tebal: vi+202

MEMBACA buku memoar ini, membuat saya menahan nafas. Berusaha keras membendung kepedihan yang menelusup masuk ke dalam dada. Kalimat-kalimat dalam lembar buku ini, seolah mencakar hati bagi siapa pun yang masih memiliki nurani. Empati akan mengalir, kemudian mewujud menjadi simpati. Dengan membacanya kita akan merasakan hal itu.

Ennie menyelesaikan pendidikan tingkat SLTP dengan nilai yang tinggi. Semua nilai mata pelajaran tinggi kecuali mata pelajaran Agama. Kenyataannya, memang, Ennie tidak tertarik dengan pelajaran tersebut. Selepas SLTP Ennie terpaksa harus menganggur, sebab tidak ada biaya untuk melanjutkan ke sekolah tingkat atas. Dia pun harus menganggur selama satu tahun. Apa yang dilakukannya selama itu? Dia melakukan protes, terutama, ditujukan pada ayahnya.

Selain sering keluar rumah, diam-diam, Ennie berpacaran dengan Sinaga, anak seorang pendeta Protestan. Dan, ternyata, apa yang dilakukannya, tetap tidak mampu mengobati perasaan kecewa dan frustasinya. Mulailah ia melakukan diet ekstrim hingga berat badannya menyusut menjadi 35 kilogram saja.

Suatu saat, Ennie bekerja diperusahaan travel. Karirnya maju di sana. Ia pun mulai dekat dengan atasannya yang sudah memiliki istri. Hingga suatu waktu ia didamprat oleh nyonya sang atasan itu, karena sering diajak makan bersama oleh atasannya. Dicaci habis-habisan. Akhirnya sang atasan membawanya ke sebuah hotel. Saat itulah ia ditawari untuk mau menikah dengannya. Iming-iming harta yang banyak membuatnya lupa diri. Ennie pun menerima lamaran laki-laki dewasa, bahkan mendekati tua, yang menjadi atasannya selama ini. Semuanya karena obsesinya menjadi orang kaya raya. Apa pun risikonya.

Kisah ini masih berlanjut. Suaminya ternyata menceraikan Ennie. Lalu mulailah teror-teror dari pihak suami dan istri pertama suaminya itu menerpa kehidupannya, ia dan anaknya yang masih kecil. Ya, perkawinannya dengan sang atasan membuahkan seorang anak laki-laki normal yang sehat. Ia sangat menyayangi Peter, anaknya itu.

Teror pun terus berlanjut. Ennie merasa tersiksa dan tidak nyaman. Atas saran seorang temannya di night-club, ia kemudian berhubungan dengan seorang lelaki asing warga negara Belanda. Laki-laki yang menurutnya sangat menarik, walaupun ia hanya melihat profilnya saja. Laki-laki itu kemudian mengajaknya datang ke Belanda untuk melaksanakan pernikahan resmi di sana. Tanpa berpikir panjang, ia pun berangkat ke sana dengan Peter. Ennie melakukan ini juga karena memiliki obsesi menjadi orang hebat. Bergelimang harta dan memiliki kedudukan yang tinggi di mata masyarakat.

Nah, di negeri bekas penjajah itulah ia memulai pengalamannya. Tepatnya, pengalaman yang sangat pahit selama hidupnya. Ennie berjumpa dengan laki-laki Belanda bernama Gez. Ia bertemu dengan orang yang salah. Sebab Gez, ternyata tidak memiliki hati dan berwatak binatang. Alih-alih menikah secara resmi, Ennie malah mendapat siksaan dari lelaki jahat itu.

Koper, tas, perhiasan, uang, paspor, dan semua bawaan Ennie dari Indonesia telah disembunyikan oleh lelaki itu. Profilnya di video yang direkomendasikan biro jodoh internasional, tampak begitu simpatik, ganteng dan lembut. Ternyata memang telah direkyasa. Gez adalah interniran militer, penipu, pemabuk, dan seksmaniak. Sungguh mencengangkan. Kita bisa menduga, apa yang dilakukan Gez pada Ennie. Ya, Ennie dipaksa memenuhi keinginan bejat sang durjana. Anaknya yang masih kecil dimasukkan ke dalam kamar mandi dan dikunci rapat, selama Ennie dipaksa memenuhi keinginan seks yang tidak wajar itu. Laki-laki itu menggunakan alat-alat berupa benda ‘aneh’ yang dimasukan ke dalam benda kehormatan Ennie. Sangat kejam!

Mendengar cerita ini, ibunda tercinta Ennie, Siti Hadijah, pun mengungkapkan keprihatinannya, “kalau Bapak masih hidup, pasti menangis darah mengetahui putri kesayangannya dianiaya.” Betapa hatinya terluka melihat anaknya menderita. Sang ibu hanya mampu mendoakan Ennie agar berada dalam kemudahan.

Sejak saat itu, sampai tiga pekan kemudian, si durjana sering menganiaya Ennie habis-habisan. Ennie pun mengeluh pada Tuhan yang selama ini tidak pernah dipedulikannya. “Demi Tuhan, kuseru nama-Mu. Di manakah Engkau saat ini, Ya Robb? Walau dalam kelam kehidupan, kuyakinkan senantiasa, kutanamkan dalam jiwaku, nun di sana, Dia Sang Pengubah Segala tetaplah hadir.” Demikian petikan kisah yang begitu menggugah.

Sebuah kisah nyata yang dialami seorang perempuan yang sesungguhnya memiliki kekuatan dan ketabahan yang luar biasa. Buktinya, ia pun bisa mengatasi masalah hidupnya yang pelik di negeri orang dengan baik. Meskipun risiko yang ditanggungnya begitu berat. Selama dua puluh tahun ia mengalami masa-masa sulit. Waktu yang tidak sebentar untuk seorang perempuan yang hidup berjuang mendaki bukit terjal hidup sendirian.

Buku ini adalah hasil kreasi kakak-adik, Pipiet Senja yang seorang penulis ternama Indonesia dan Ennie van Moorsel Arief yang memiliki nama asli Enny Hadiyani Arief. Berisi kisah sejati yang mampu menggetarkan siapa pun pembacanya. Memoar ini digarap dengan apik dan rapi. Detail-detail cerita begitu kentara, sehingga pembaca akan sangat menikmatinya. Sebagaimana novel, memoar ini jauh dari membosankan. Kompliknya tajam dan terus menanjak. Menegangkan! Bahasanya mengalir dan ringan untuk dibaca oleh semua kalangan.

Ennie menyebut memoar ini sebagai ‘curahan hati’. Sebab, memang, kisah dalam buku ini ditulis berdasarkan gerak hati, hasil pergulatan hidup yang banyak pahitnya. Ennie berharap, kisah hidupnya dalam memoar ini bisa menjadi pengingat, pun bisa diambil pelajaran dan hikmahnya oleh siapa saja.

Dede Sulaeman, Pengelola Blog Bahagia Bersama Buku

Menguak Tradisi Ilmiah Islam Klasik


Judul Buku: Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam
Penulis: Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara
Penerbit: Baitul Ihsan, Jakarta
Tebal: x + 225 halaman
Cetakan: I, Juni 2006


Begitu pentingnya sebuah tradisi ilmiah, sehingga Barat memulai kemajuannya dengan hal itu. Tentu kita masih ingat pada masa renaisans, khususnya pada masa Francis Bacon, Barat sudah mempunyai tradisi ilmiah yang kuat dan mengakar. Landasan-landasan teoritis dan praktis telah berkembang dengan pesat. Orang-orang Barat, saat ini, maju di bidang ilmu pengetahuan, sebab mereka memiliki tradisi ilmiah yang mereka bangun dan bina sejak masa renaisans itu. Oleh karenanya, tak heran jika Barat maju secara revolusioner dalam bidang sains dan teknologi. Dan, ternyata, implikasinya tidak hanya pada dua bidang itu, tetapi pada ruang-ruang yang lain. Sebut saja ruang pendidikan, kesehatan, pembangunan, dan lain sebagainya.

Seperti halnya Barat, Islam pun mempunyai catatan sejarah yang gemilang di bidang ilmu pengetahuan. Dan, hal itu ternyata tidak terlepas dari tradisi ilmiah yang mengakar dalam Islam. Yang memang tradisi ilmiah tersebut tidak sama dengan Barat. Sebab, Islam memiliki ciri tersendiri dalam mengembangkan ilmunya. Islam mempunyai sumber pengetahuan yang sangat banyak.

Dalam wahyu Tuhan, dijelaskan bahwa ada ayat-ayat berupa teks dan alam. Keduanya ciptaan Tuhan yang harus digali berdasarkan perumusan landasan-landasan teori yang bisa dikembangkan oleh manusia dengan menggunakan akalnya. Oleh karenanya, dalam Islam, ilmu pengetahuan berkembang begitu luas dan komprehensif. Demikian. Mereka telah mencapai kemajuan ilmiah yang fantastik pada abad pertengahan. Para sarjana muslim itu memang telah memiliki tradisi ilmiah yang khas dan tak sama dengan Barat.

Sementara itu, tak ada sumbangan ilmiah yang berarti bagi peradaban dunia dari bangsa kita ini. Diduga kuat, disebabkan oleh tidak dimilikinya oleh bangsa ini, sebuah tradisi ilmiah tertentu yang mapan dan cocok dengan sistem keparcayaan dan nilai budaya bangsa ini.

Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara menulis, dalam bukunya ini, bahwa tradisi ilmiah Islam bisa bertindak dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, bagaimana sebuah tradisi ilmiah dibangun, dikembangkan, dan dipertahankan dari satu generasi ke generasi lainnya. Beberapa contoh spektakuler dari prestasi ilmuwan-ilmuwan muslim dipaparkan dalam buku ini dengan tutur bahasa yang renyah dan mudah dipahami. Maksudnya supaya kita bisa mengerti dengan jelas mengapa mereka maju dan terkenal, sedangkan umat Islam di Indonesia tidak?
Misalnya, dikatakan bahwa Muhammad bin Jarir al-Thabari, menulis sebanyak 40 halaman setiap hari selama 40 tahun. Ini berarti, jika dirata-ratakan satu bulannya 30 hari, beliau, selama 40 tahun, telah menulis sekitar 576.000 halaman. Berapa jilid buku yang telah dihasilkannya? Tak heran, jika ia sangat terkenal dan memberikan kontribusi yang signifikan pada bidang yang ditekuninya. Nah, jika kebanyakan kita, di sini, tidak pernah menulis satu halaman pun selama bertahun-tahun, maka tak perlu heran jika kita tak pernah maju dalam ilmu.

Mengapa mereka begitu gemilang? Dari beberapa faktornya adalah dorongan agama Islam yang telah menjadi hal penting bagi terciptanya kondisi yang kondusif bagi pencarian ilmu. Sebab, agama Islam, bukan hanya membolehkan pencarian ilmu, tetapi juga mewajibkannya. Ada semacam keidentikkan antara ketaatan pada agama dengan pencarian ilmu. Semakin taat seseorang pada agamanya, semakin kuat motivasinya menuntut ilmu. Itulah gambaran para pendahulu kita yang karya-karyanya akan terus dikenang sebagai sumber pencerahan bagi umat Islam dan umat lainnya di kemudian hari.

Dalam bukunya ini, pak Mulyadhi, memaparkan berbagai hal yang berkenaan dengan tradisi ilmiah dalam delapan bab. Mulai dari tantangan umat, faktor pendorong ilmu, lembaga pendidikan, sistem pendidikan, kegiatan-kegiatan ilmiah, penelitian ilmiah, metode-metode ilmiah yang dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan muslim, dan menutupnya dengan mereaktualisasikan tradisi ilmiah tersebut dalam konteks Indonesia yang mayoritas penduduknya Islam.

Dari sana, ada yang menarik untuk kita kaji lebih jauh. Indonesia yang dulu termasyhur dalam mengelola pendidikan itu – misalnya, dulu, Negara tetangga kita, Malaysia, belajar masalah pendidikan pada Indonesia. Namun, ironisnya, sekarang kemajuan pendidikannya melebihi kita – sudahkah menghasilkan sebuah peradaban Islam lokal Indonesia yang gemilang? Berapa tokoh cendekiawan yang dilahirkan dari rahim perguruan tinggi kita? Mengapa sekarang kualitas pendidikan kita merosot?

Sistem pendidikan kita sekarang, tentu saja, lebih bagus daripada yang digunakan pada masa lalu di dunia Islam. Namun, mengapa sistem yang sehebat itu tidak menghasilkan tokoh-tokoh hebat seperti al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi, atau Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun? Mungkin, ada kekeliruan mendasar dalam penyusunan kurikulum dan metode pengajaran. Atau, ada yang salah dari motivasi para pendiri lembaga pendidikan, pendidik, dan anak didiknya. Hal ini menjadi poin penting untuk dicarikan solusinya melalui penelaahan kembali tradisi masa lalu yang bisa digunakan untuk membangun kembali paradigma pendidikan kita.

Berkaca pada tradisi ilmiah para cendekiawan muslim yang gemilang itu, kita harus memosisikan kembali orientasi pendidikan kita. Dengan bercermin pada tradisi pengembangan keilmuan para guru agung yang gemilang pada masa klasik Islam itu, kita akan membangun paradigma baru pendidikan Islam. Sehingga kita bisa menaruh harapan, bangsa yang mayoritas Islam ini, akan bangkit kembali dari tidur lelapnya. Dan, bangsa ini akan menjadi besar dan bermartabat, bukan hanya di mata manusia, tetapi juga di mata penciptanya.

Dede Sulaeman, Pengelola Blog Bahagia Bersama Buku

Pendidikan dalam Cengkeraman Globalisasi


Judul Buku: Pendidikan Berperspektif Globalisasi
Penulis: Nurani Soyomukti
Penerbit: AR-RUZZ MEDIA, Yogyakarta
Tahun: I, 2008
Tebal: 216 halaman
Harga: Rp 30.000

Sudah sepantasnya pendidikan mengangkat derajat manusia setinggi-tingginya. Pendidikan sebagai tempat penggodokkan manusia menjadi paripurna. Tempat ditempanya orang sehingga menjadi unggul. Manusia yang punya kesadaran kemanusiaan universal. Juga mumpuni dalam ilmu pengetahuan. Karenanya, pendidikan menjadi harapan kesejahteraan dan kemuliaan hidup manusia.

Nyatanya, pendidikan tidak seideal yang kita inginkan. Kenyataan sosial menunjukkan, betapa rapuhnya pendidikan yang dianggap sebagai upaya memanusiakan manusia. Justru, sebaliknya, mendehumanisasikannya. Sekadar contoh, anak dan orangtua yang bunuh diri karena tidak mampu membayar biaya sekolah. Atau banyak anak miskin yang tersebar di kota-kota besar yang hidup menjadi gelandangan dan pengamen jalanan.

Di sisi lain, di tengah serangan budaya pasar, kampus dan beberapa sekolah elit malah hanya menjadi ajang bergaya hidup mahasiswa dan murid. Hal ini hanya akan menjadikan mahasiswa bangga dengan penampilan gelamor. Hobinya nongkrong dan berleha-leha. Konsumtif, tidak produktif, dan jauh dari nalar kritis. Murid sekolah kerjanya nongkrong dan jalan-jalan tak tentu arah. Jika begini keadaannya, lalu apa yang bisa diharapkan dari generasi muda bangsa ini?

Padahal, bangsa yang kuat bisa dilihat dari generasi mudanya. Jika generasinya rapuh sejak sekarang, kita tidak bisa berharap banyak pada kemajuan masa depan. Dan, hal ini tidak banyak dipikirkan oleh kita sebagai anak bangsa. Upaya menyiapkan generasi yang kuat tidak sungguh-sungguh dilakukan. Tetapi, berharap supaya bangsa ini maju dan kuat adalah dambaan semua orang. Karenanya, menjadi penting bagi kita untuk menelaah sejauh mungkin, sebab-sebab munculnya tradisi rapuh yang menimpa generasi pelajar kita. Juga realitas sosial yang mencekam: orang miskin tersingkir dari dunia pendidikan. Padahal jauh dari pendidikan akan mendekatkan orang pada kemiskinan.

Nah, buku ini menyoba menggambarkan permasalahan pokok dalam pendidikan yang kian tercerabut dari manusia dan kemanusiaan. Di sini, penulis buku melihat sebab-akibat keterpurukan dunia pendidikan dengan menusuk langsung pada akar masalah berupa struktur sosial ekonomi kapitalisme yang mengglobal. Banyak sekali persoalan yang digambarkan dalam buku ini yang luput dari amatan para pengamat, terutama pengamat pendidikan. Satu hal yang menjadi pusat pembahasan buku ini adalah globalisasi.

Globalisasi bermakna, di mana dunia global berinteraksi dengan dunia lokal. Interaksi tersebut melingkupi semua hal yang menyangkut banyak bidang. Ekonomi, sosial, politik, budaya, dan tak terkecuali pendidikan. Secara spesifik, kita bisa melihat, bahwa pendidikan, kini, sudah menjadi barang komersial. Pendidikan sudah menjadi semacam tempat bisnis yang menguntungkan. Pada akhirnya, pendidikan bisa menjadi seperangkat alat berat yang siap mengusir orang-orang yang tidak memiliki uang cukup. Tak heran jika banyak generasi kita yang putus sekolah dan harus rela menjadi gelandangan, tersingkir dari dunia normal.

Karenanya, globalisasi, sebagai raksasa besar, harus dipahami secara benar oleh masyarakat, terutama mereka yang menyoba memahami hubungan globalisasi dalam kehidupan sehari-hari. Kejadian apa pun di belahan dunia ini, tidak ada yang lepas dari perhitungan kapitalis yang sangat teliti. Mereka bisa merekayasa kesadaran dan tingkah laku masyarakat di mana pun berada. Jika pendidikan terlambat dan tidak awas, apalagi cuek sebagaimana pengambil kebijakan negara yang selalu patuh pada diktum modal asing, maka, apa yang akan terjadi pada generasi kita di masa mendatang?

Buku ini menyajikan kritik dan wawasan globalisasi dan pengaruhnya pada kehidupan sosial, termasuk di dalamnya dunia pendidikan. Kita akan diajak menyelam dan memahami realitas yang tengah berubah cepat. Realitas yang mengglobal dan tak seorang pun mampu membendungnya.

Dengan menyajikan detil-detil persoalan globalisasi, setidaknya, penulis buku ini menginginkan masyarakat kita menjadi sadar dan tahu bahwa dunia pendidikan yang begitu penting sedang berada dalam cengkraman globalisasi. Dan, mekanisme penindasan yang ditempuh dengan jalan menjauhkan masyarakat dari lembaga pendidikan pun bisa disadari. Sehingga, masyarakat kita bisa mempersiapkan diri untuk menghadapai globalisasi dan semua perangkatnya. Harapannya, penjajahan (dalam bentuk apa pun), tidak akan terulang seperti dulu, ketika Belanda menjajah negeri ini. Dan pendidikan bisa menjadi corong pengusung kemanusiaan.

Evi Nurfaryanti, alumnus Fakultas Psikologi UIN Jakarta

Kamis, 29 Januari 2009

Lapar di Negeri Beras


Judul Buku: Ironi Negeri Beras

Penulis: Khudori

Penerbit: INSISTPress, Yogyakarta

Tahun: I, Juni 2008

Tebal: xvi + 366 halaman

Harga: Rp 42.500


Beras adalah pangan yang pokok di Indonesia. Saat ini, 96 persen penduduk Indonesia, dari Sabang sampai Papua, tergantung pada pangan beras. Dari sisi gizi dan nutrisi lebih unggul daripada pangan lain. Kandungan energinya 360 kalori per 100 gram, dan kandungan proteinnya 6,8 gram per 100 gram. Hal ini membuat pangsa beras pada konsumsi energi per kapita mencapai 54,3 persen. Karenanya, tak heran jika dilihat dari sisi produsen, Indonesia melibatkan sekitar 25,4 juta rumah tangga petani atau lebih dari separuh penduduk negeri ini. Sementara dari sisi konsumen, beras sebagai makanan pokok bagi sebagian besar penduduk di Asia. Sekitar lebih dari 70 persen kebutuhan kalori dan protein sebagian besar penduduk Asia, khususnya masyarakat yang berpendapatan rendah, dipenuhi dari beras. Dan di Indonesia malah lebih besar lagi, sekitar 97-100 persen.

Sayangnya, bahan pokok ini semakin hari semakin sukar dijangkau oleh mayoritas masyarakat kita. Harganya terlalu tinggi. Sekalipun bisa dibeli, hanya sedikit jumlahnya. Karena itu, hal ini telah menjadi masalah besar bagi bangsa. Masalah pelik yang penyelesaiannya memakan waktu cukup panjang, bahkan sampai hari ini. Padahal jika kita lihat, secara geografis, Indonesia sangat potensial untuk pengembangan pertanian pangan, terutama padi. Lahannya subur dan luas, ditunjang oleh teknologi pertanian yang lumayan bagus, juga sumber daya manusia yang cukup memadai. Namun, jika direnungkan, kita malah menemukan sebuah ironi.

Mengapa demikian? Kita bisa melihat bahwa, pertama, harga beras yang kian melambung mengakibatkan masyarakat kita (yang mayoritas miskin) akan kesulitan pangan. Dan kedua, harga gabah yang turun membuat para petani, produsen padi, kelimpungan menanggung kerugian yang tidak sedikit.

Dua hal di atas menjadi jawaban, mengapa masyarakat dan petani kita miskin. Tak heran jika kita masih mendengar berita di media bahwa banyak anak-anak di beberapa daerah terkena busung lapar. Bahkan, daerah yang jelas-jelas penghasil padi cukup besar. Mereka memang kelaparan, meskipun hidup di lumbung padi. Padahal dalam konteks hak asasi manusia, hak memperoleh pangan termasuk hak yang paling asasi. Hak yang pertama kali harus dipenuhi oleh semua makhluk bernama manusia.

Kita bisa melihat pada tahun 2002, dari 38,4 juta orang miskin di Indonesia, 65,4 persen di antaranya berada di pedesaan dan 53,9 persen adalah petani. Dan pada 2003, dari 24,3 juta rumah tangga petani berbasis lahan 20,1 juta atau sekitar 82,7 persen di antaranya dapat dikategorikan miskin. Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani adalah miskin dan sebagian besar orang miskin adalah petani. Singkatnya, para produsen pangan pokok di Indonesia, miskin.

Lantas, apa yang mesti dilakukan? Sudah seharusnya pemerintah menelorkan kebijakan yang mengangkat derajat kaum petani. Nah, kebijakan terpenting di antaranya berupa subsidi harga dasar, subsidi harga asupan (pupuk benih, pestisida), dan subsidi kredit usaha tani. Lalu di tingkat pasar kebijakan yang dilaksanakan berupa manajemen stok dan monopoli impor oleh Bulog, penyediaan Kredit Likuiditas Bank (KLBI) untuk operasionalisasi pengadaan beras oleh Bulog, Kredit Pengadaan Pangan bagi Koperasi (KUD) dan operasi pasar oleh Bulog pada saat harga beras tinggi.

Jika tidak dilakukan kebijakan seperti ini, petani kita akan tetap kesulitan dan sebagian besar masyarakat kita akan kesulitan pangan. Di sisi petani, jelas akan membuat gairah bertani menjadi pudar, bahkan hilang begitu saja. Apabila demikian keadaannya, pangan kita akan sangat tergantung pada impor. Saya tidak tahu, bagaimana kejadiannya jika pangan Indonesia tergantung pada luar negeri? Mungkin kita masih ingat ketika Uni Soviet diembargo pangan. Negara yang perangkat persenjataannya begitu canggih, menjadi lemah hanya gara-gara kurang pangan. Dan, Indonesia mungkin akan menjadi negara yang sepenuhnya bergantung pada luar negeri, bahkan untuk semua hal.

Inilah sebuah buku komprehensif yang mengulas seluk-beluk perberasan. Menurut penulisnya, buku ini diniatkan untuk mengelaborasi sisi-sisi penting beras. Tidak hanya aspek ekonomi dan politik, tapi juga dimensi sosial, budaya, kaitannya dengan perdagangan internasional, dan bahkan sejarah. Dengan mengupas semua itu, buku ini berusaha menyorot seluruh sisik-melik beras. Membaca seluruh isinya, kita akan mendapat gambaran utuh tentang beras. Selain itu, penulis buku ini, memaparkannya dengan bahasa populer sehingga mudah dimengerti oleh banyak kalangan. Karena memang, penulis buku ini berlatar belakang ilmu pertanian dan wartawan.

Akhirnya kita hanya bisa berharap, para petinggi dan pemegang kebijakan bangsa ini bisa merenungkan apa yang dipaparkan Khudori dalam buku ini. Sehingga persoalan pangan bangsa kita ini bisa ditanggulangi, meski dengan langkah yang sangat lamban. Dan, lapar di negeri beras bisa (segera) berakhir.



Dede Sulaeman, Peminat Pertanian dan Pengelola Blog Bahagia Bersama Buku

(Resensi ini sudah dimuat di Koran Jakarta - 22 Juli 2008)

Judul Buku:
Sufi Pinggiran, Menembus Batas-batas

Penulis:
Abdul Munir Mulkhan

Penerbit:
Kanisius, Yogyakarta

Cetakan:
Pertama, 2007

Tebal:
204 halaman

Banyak di sekeliling kita orang-orang pinggiran yang tersisih oleh congkaknya sistem ekonomi yang tak memihak. Sementara itu, kaum kaya semakin menumpuk harta dan menimbun pahala dengan memperbanyak ibadah tanpa memerhatikan nasib kaum pinggiran itu. Padahal, Tuhan mengecam orang berharta yang emoh menolong kaum susah.

Kita patut mempertanyakan keberagamaan yang selama ini dijalani dengan tekun sekalipun. Sebabnya? Buku ini mengupasnya secara utuh. Kesalehan individualistis ternyata, bukanlah hakikat ajaran agama. Kita akan tersentak saat membaca tulisan apik ini, melakukan evaluasi terhadap perjalanan keberagamaan selama ini, dan merenungkan seperti apa selama ini mengabdi kepada Tuhan.

Dr St Sunardi, dalam pengantarnya mengungkapkan bahwa salah satu pengalaman membaca buku ini adalah pengalaman bertanya-tanya bercampur kagum yang bisa diungkapkan dengan “Oh ternyata…”. Menurutnya tulisan dalam buku ini sarat dengan energi untuk keluar dari berbagai banalisme dalam beragama dan sarat dengan usaha untuk keluar dari pembahasan tentang agama secara positivistik.

Tanpa disadari, kebanyakan penganut agama terjebak ke dalam kompetisi kesalehan. Mereka berlomba-lomba mengumpulkan pahala dengan memperbanyak ibadah dengan tujuan memperoleh surga Tuhan secara sendiri-sendiri. Mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk naik haji berulang-ulang. Para pejabat sibuk dengan urusannya masing-masing. Seperti apa yang dilontarkan penulis buku ini, para pejabat kita itu repot dengan haji, umroh, dan ibadah-ibadah plus lainnya. Semua itu mereka lakukan untuk menghindari diri dari ancaman neraka di akherat kelak.

Di sisi lain, kaum miskin terus saja diterpa kesusahan. Kebijakan pemerintah yang tidak memihak sering membuat mereka tercekik dan hanya mampu berharap esok ada makanan pengganjal perut turun dari langit. Harga-harga bahan makanan sudah sangat sulit dijangkau. Karenanya kita perlu membangun kesadaran spiritual secara revolusioner.

Kesadaran spiritual apa maksudnya? Abdul Munir Mulkhan menegaskan bahwa kesadaran itu terwujud dalam kesalehan, yaitu tindakan yang selalu ditujukan bagi kepentingan publik, bukan hanya bagi dirinya sendiri, juga bukan hanya bagi penumpukkan pahala sebagai bekal memasuki surga Tuhan. Kesalehan yang ditransformasikan pada pembebasan kaum tertindas. Kesalehan yang dipersembahkan untuk kemanusiaan dan alam semesta sebagai ciptaan-Nya.

Makna Sufi Pinggiran

Kemudian dalam istilah penulis buku ini, sufi pun memiliki makna lain. Sufi ini bukan sembarang sufi. Ia akan menghancurkan kemunafikan spiritual yang individualistis. Ia disebut Sufi Pinggiran. Makna Sufi Pinggiran adalah sebuah afirmasi atau pengakuan bahwa semua orang memiliki kesadaran ilahiah atau kearifan ilahiah paling autentik, tak peduli apakah orang itu buta huruf atau guru besar teologi; sebuah pengakuan bahwa kita sama-sama mencari kebenaran ketuhanan yang paling jujur; sebuah usaha untuk jujur dalam beragama dan bertuhan.

Manusia, kata Munir Mulkhan, bisa menjadi makhluk lebih baik daripada malaikat melainkan juga bisa menjadi lebih jahat daripada setan. Kejujuran manusia, dengan kata lain, adalah kejujuran sebagai makhluk yang senantiasa mudah jatuh. Kejujuran sufistik sangat dekat dengan rendah hati. Oleh karenanya, jika manusia ingin seperti pilihan Tuhan, ia harus mendedikasikan hidupnya untuk Tuhan dan semua ciptaan-Nya.

Kembali menyinggung tren keberagamaan kaum pejabat dan kaya raya yang lebih mengedepankan simbol daripada isi, maka kita bisa melihat, setiap orang seperti bersaing merebut simpati Tuhan hingga tak ada peluang bagi orang lain memperoleh keridaan Tuhan. Yang penting baginya, keuntungan terbanyak untuk sendiri. Tak mau memikirkan nasib orang lain. Kita bisa melihatnya dalam realitas sosial yang sangat timpang. Yang kaya semakin kaya, yang miskin menjadi ‘mampus’.

Karena itu penting dicermati nasehat sufi bahwa ibadah dan ketundukkan pada Tuhan bukan untuk meraup sebanyak mungkin pahala, rejeki, dan hadiah surga dari-Nya, tapi sebuah pengabdian tulus tanpa kepentingan. Seorang sufi akan menerima dengan penuh kerelaan jika di hari akhir nanti Tuhan memasukkan dirinya ke dalam neraka. Yang terpenting baginya adalah keridaan Tuhan dengan segala keberkahan-Nya. Tuhan tak akan rugi jika manusia tak menyembah-Nya. Ibadah adalah untuk manusia itu sendiri. Begitupun agama lahir untuk kesejahteraan manusia. Bohong jika ada orang mengaku paling agamis, sementara ia tak peduli dengan orang-orang miskin di sekelilingnya.

Cara hidup sufi, perilaku sufi, merupakan teknik pembebasan manusia dari perangkap materil ketika melakukan tindakan sosial, ekonomi, politik, juga dalam kegiatan ritual keagamaan. Praksis sufi bukan menjauhi kehidupan sosial, ekonomi, dan politik, tapi melakukan semua tindakan itu sebagai wahana pencapaian taraf kehidupan lebih luhur dan manusiawi dalam tataran spiritual dan ilahiah. Ia bergerak dari aksi sosial menuju kesucian Tuhan. Perilaku sufi ini akan menepis hipokritisme spiritual yang tengah menjamur di masyarakat kita.

Dede Sulaeman, Penikmat Buku dan Pengelola Blog Bahagia Bersama Buku